MENIKAH DI BULAN DZULHIJJAH

 

Foto oleh Asad Photo Maldives dari Pexels


 Musim nikah di bulan Dzulhijjah sepertinya adalah kalimat yang dapat mewakili banyaknya pasangan yang akan melangsungkan pernikahan pada bulan Dzulhijjah. Meski sebenarnya sebelum bulan Dzulhijjah, pada bulan syawal pun kini telah mulai bertebaran undangan pernikahan baik berbentuk fisik (undangan yang terbuat dari kertas) maupun virtual.

Dikutip dari kalam.sindonews.com, menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al Azhim menjelaskan, Allah mengkhususkan 4 bulan, maka Allah menjadikannya haram dan mengagungkan kemulyaan-kemulyaannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar dan begitu pula halnya dengan amal sholeh dan pahalanya. Dari sekian banyak ulama berpendapat bahwa bulan Zulhijjah memiliki dua keistimewaan, yaitu Dzulhijjah yang masuk dalam Hari Raya Idul Adha dan yang kedua adalah Dzulhijjah yang termasuk bulan haram. Mungkin berdasarkan hal itulah, maka banyak pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan pada bulan Dzulhijjah, meski pada dasarnya semua bulan itu baik untuk melangsungkan pernikahan.

Foto oleh Azra Tuba Demir dari Pexels

 

Berbicara mengenai pernikahan, bagi sebagian besar orang merupakan hal yang membahagiakan. Karena akan memulai kehidupan berumah tangga bersama pasangan yang dicintainya. Akan tetapi, bagi sebagian lagi, mendengar kata pernikahan akan membuat sedih atau menakutkan. Misalnya pernikahan yang akan dilangsungkan karena perjodohan paksa dengan orang yang tidak dicintai, ingin menikah tapi belum menemukan pasangan/jodohnya dan sudah sangat jengah mendengar pertanyaan klise "kapan", atau ada keinginan untuk menikah tapi merasa takut karena memiliki trust issue.

Saya ingin sedikit membahas mengenai trust issue karena saya merasa mengalami hal ini. Trust issue merupakan kesulitan untuk mempercayai orang lain karena trauma dimasa lalu. Saya  pernah dikecewakan oleh seseorang yang saya cintai, dan saya pun pernah hampir menikah dengan seseorang namun batal. Dari pengalaman tersebut membuat saya merasa kesulitan untuk percaya lagi kepada laki-laki, sehingga ada rasa takut untuk menikah meski sebenarnya sudah ada keinginan untuk menikah. Dengan kondisi seperti ini saya hanya butuh untuk diyakinkan dan butuh adanya pembuktian untuk kembali percaya. Rasanya terkesan keras, egois,  dan emosional, tapi pengalaman telah membentuk saya menjadi seperti ini. Itulah masalah yang terjadi dalam hidup saya, dan mungkin saya membutuhkan bantuan tetapi saya tidak pernah berani untuk meminta, saya hanya ingin orang lain mengerti dan dapat membantu saya dengan tulus.

 

Foto oleh Liza Summer dari Pexels

               

      Setiap pengalaman adalah guru dalam kehidupan, begitu pun dengan pengalaman yang tidak “mengenakkan” dapat memberi pelajaran. Efek dari pengalaman tidak “mengenakkan” tersebut mampu membuka logika saya menjadi lebih rasional. Jadi, saat ini bagi saya ketika menjalin hubungan tidak lagi hanya berdasarkan pada perasaan saja, tapi mempertimbangkan beberapa hal penting, seperti pekerjaan, jarak, pola pikir, keluarga, dan gaya hidup. Selain itu, efek dari pengalaman tersebut membuat saya memiliki beberapa kriteria untuk seseorang yang saya harapkan, diantaranya:

1.       Cukup paham agama, minimal menjaga shalat 5 waktu

2.       Berwawasan

3.       Pekerja keras

4.       Memiliki penghasilan tetap

5.       Mandiri secara mental dan finansial (tidak bergantung pada orang lain/orang tua)

6.       Berkarakter dan bertanggung jawab

7.       Akan lebih baik jika tidak merokok

8.  Memiliki komunikasi yang baik (dapat diajak berdiskusi dan bekerjasama untuk kebaikan bersama)

9.  Usia lebih muda tidak menjadi masalah selama bisa berpikir dewasa dan mampu bertanggung jawab

10.   Usia maksimal 35 tahun, tapi tidak menutup kemungkinan untuk lebih jika merasa cocok

Kriteria diatas seperti cita-cita, hanya semacam bentuk pertahanan dan motivasi diri sebagai manusia yang memiliki keinginan. Kalau sudah menemukan seseorang yang cocok, kriteria tersebut akan menguap dan saya bisa menerima pasangan sepenuhnya. Semoga kriteria pasangan yang saya harapkan tersebut sesuai dengan takdir yang telah direncanakan oleh Allah. Aamiin..

Foto oleh Thirdman dari Pexels

 

        Adapun visi dan misi pernikahan bagi saya tentunya ingin memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah. Tapi untuk mencapai itu semua pastinya tidak mudah karena dibutuhkan pasangan yang memiliki niat dan tujuan yang sama, yang sama-sama bisa saling menerima, mencoba untuk sama-sama belajar dan saling mengerti, mampu menahan ego masing-masing, dan bisa saling menjaga satu sama lain.

Di usia saya sekarang yang sudah kepala tiga, saya cukup realistis dengan membuat kriteria calon seperti yang telah saya sampaikan. Tujuannya adalah untuk mencapai keharmonisan keluarga dan mendidik anak. Jika Allah menganugerahi seorang anak, maka sebagai orang tua (mungkin khususnya suami) wajib menafkahi keluarga dan membekali anak dengan ilmu (memberikan pendidikan yang layak). Hal tersebut berarti tidak lepas dari materi sebagai penunjang hidup.

Saya sendiri tidak memiliki ambisi untuk menjadi wanita karir, saya hanya ingin fokus pada keluarga, mengurus, merawat, dan sama-sama mendidik anak. Meski begitu, tapi ingin tetap memiliki kegiatan namun tidak terikat secara full time, dan memiliki penghasilan seperti dengan mengajar, membuka usaha, atau bekerja freelance dari rumah.

Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

 

Saya termasuk tipe orang yang cenderung pemikir, open minded, kritis, penyayang kucing dan tanaman, dan suka anak kecil. Namun kekurangan saya mungkin cenderung panikan dan overthinking jika ada masalah. Oleh karena itu saya membutuhkan penyeimbang, orang yang lebih dewasa dalam hal pemikiran sehingga mampu menenangkan dan membimbing saya lebih baik, begitu juga dengan kelebihan yang saya miliki dapat menjadi penyeimbang atas kekurangan pasangan saya.

         Terkahir, saya memiliki mimpi, suatu saat bersama pasangan ingin membangun kembali pesantren seperti dulu ketika dikelola oleh kakek dan mamang (paman). Namun materi yang diajarkan tidak hanya berfokus pada pelajaran agama tapi juga sebagian diberikan pelajaran dan keterampilan umum. Melalui pesantren ini saya ingin  memajukan kampung halaman dengan menghasilkan santri yang memiliki wawasan agama dan ilmu umum yang seimbang, tapi tetap agama sebagai pondasi utamanya. 

      Semoga kamu, aku, dan orang-orang yang sedang ikhtiar mencari jodoh segera dipertemukan dan bisa menikah di bulan Dzulhijjah tahun ini. Aamiin..

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peresmian Gedung Sentra Opak Ketan Jampang Sebagai Pusat Oleh-Oleh Khas Pajampangan

FOSIL MEGALODON, HARTA KARUN DI TANAH PAJAMPANGAN

DESA WISATA HANJELI