MENIKAH DI BULAN DZULHIJJAH
Dikutip dari
kalam.sindonews.com, menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al Azhim
menjelaskan, Allah mengkhususkan 4 bulan, maka Allah menjadikannya haram dan
mengagungkan kemulyaan-kemulyaannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan
tersebut lebih besar dan begitu pula halnya dengan amal sholeh dan pahalanya. Dari
sekian banyak ulama berpendapat bahwa bulan Zulhijjah memiliki dua keistimewaan,
yaitu Dzulhijjah yang masuk dalam Hari Raya Idul Adha dan yang kedua adalah
Dzulhijjah yang termasuk bulan haram. Mungkin berdasarkan hal itulah, maka
banyak pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan pada bulan Dzulhijjah,
meski pada dasarnya semua bulan itu baik untuk melangsungkan pernikahan.
Berbicara
mengenai pernikahan, bagi sebagian besar orang merupakan hal yang
membahagiakan. Karena akan memulai kehidupan berumah tangga bersama pasangan
yang dicintainya. Akan tetapi, bagi sebagian lagi, mendengar kata pernikahan
akan membuat sedih atau menakutkan. Misalnya pernikahan yang akan dilangsungkan
karena perjodohan paksa dengan orang yang tidak dicintai, ingin menikah tapi
belum menemukan pasangan/jodohnya dan sudah sangat jengah mendengar pertanyaan klise "kapan", atau ada keinginan untuk menikah tapi merasa
takut karena memiliki trust issue.
Saya ingin sedikit
membahas mengenai trust issue karena
saya merasa mengalami hal ini. Trust
issue merupakan kesulitan untuk mempercayai orang lain karena trauma dimasa
lalu. Saya pernah dikecewakan oleh
seseorang yang saya cintai, dan saya pun pernah hampir menikah dengan seseorang
namun batal. Dari pengalaman tersebut membuat saya merasa kesulitan untuk
percaya lagi kepada laki-laki, sehingga ada rasa takut untuk menikah meski sebenarnya
sudah ada keinginan untuk menikah. Dengan kondisi seperti ini saya hanya butuh untuk
diyakinkan dan butuh adanya pembuktian untuk kembali percaya. Rasanya terkesan
keras, egois, dan emosional, tapi
pengalaman telah membentuk saya menjadi seperti ini. Itulah masalah yang
terjadi dalam hidup saya, dan mungkin saya membutuhkan bantuan tetapi saya
tidak pernah berani untuk meminta, saya hanya ingin orang lain mengerti dan
dapat membantu saya dengan tulus.
Setiap pengalaman adalah guru
dalam kehidupan, begitu pun dengan pengalaman yang tidak “mengenakkan” dapat memberi pelajaran. Efek dari pengalaman tidak “mengenakkan” tersebut mampu membuka
logika saya menjadi lebih rasional. Jadi, saat ini bagi saya ketika menjalin
hubungan tidak lagi hanya berdasarkan pada perasaan saja, tapi mempertimbangkan
beberapa hal penting, seperti pekerjaan, jarak, pola pikir, keluarga, dan gaya
hidup. Selain itu, efek dari pengalaman tersebut membuat saya memiliki beberapa
kriteria untuk seseorang yang saya harapkan, diantaranya:
1. Cukup paham agama, minimal menjaga shalat 5 waktu
2. Berwawasan
3. Pekerja keras
4. Memiliki penghasilan tetap
5. Mandiri secara mental dan finansial (tidak bergantung pada orang lain/orang tua)
6. Berkarakter dan bertanggung jawab
7. Akan lebih baik jika tidak merokok
8. Memiliki komunikasi yang baik (dapat diajak berdiskusi dan bekerjasama untuk kebaikan bersama)
9. Usia lebih muda tidak menjadi masalah selama bisa berpikir dewasa dan mampu bertanggung jawab
10. Usia maksimal 35 tahun, tapi tidak menutup kemungkinan untuk lebih jika merasa cocok
Kriteria diatas
seperti cita-cita, hanya semacam bentuk pertahanan dan motivasi diri sebagai
manusia yang memiliki keinginan. Kalau sudah menemukan seseorang yang cocok,
kriteria tersebut akan menguap dan saya bisa menerima pasangan sepenuhnya. Semoga
kriteria pasangan yang saya harapkan tersebut sesuai dengan takdir yang telah
direncanakan oleh Allah. Aamiin..
Adapun
visi dan misi pernikahan bagi saya tentunya ingin memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah. Tapi untuk mencapai itu semua pastinya
tidak mudah karena dibutuhkan pasangan yang memiliki niat dan tujuan yang sama,
yang sama-sama bisa saling menerima, mencoba untuk sama-sama belajar dan saling
mengerti, mampu menahan ego masing-masing, dan bisa saling menjaga satu sama
lain.
Di usia saya
sekarang yang sudah kepala tiga, saya cukup realistis dengan membuat kriteria
calon seperti yang telah saya sampaikan. Tujuannya adalah untuk mencapai
keharmonisan keluarga dan mendidik anak. Jika Allah menganugerahi seorang anak,
maka sebagai orang tua (mungkin khususnya suami) wajib menafkahi keluarga dan
membekali anak dengan ilmu (memberikan pendidikan yang layak). Hal tersebut
berarti tidak lepas dari materi sebagai penunjang hidup.
Saya sendiri
tidak memiliki ambisi untuk menjadi wanita karir, saya hanya ingin fokus pada
keluarga, mengurus, merawat, dan sama-sama mendidik anak. Meski begitu, tapi ingin
tetap memiliki kegiatan namun tidak terikat secara full time, dan memiliki penghasilan seperti dengan mengajar,
membuka usaha, atau bekerja freelance dari rumah.
Saya termasuk
tipe orang yang cenderung pemikir, open
minded, kritis, penyayang kucing dan tanaman, dan suka anak kecil. Namun
kekurangan saya mungkin cenderung panikan dan overthinking jika ada masalah. Oleh karena itu saya membutuhkan
penyeimbang, orang yang lebih dewasa dalam hal pemikiran sehingga mampu
menenangkan dan membimbing saya lebih baik, begitu juga dengan kelebihan yang
saya miliki dapat menjadi penyeimbang atas kekurangan pasangan saya.
Terkahir,
saya memiliki mimpi, suatu saat bersama pasangan ingin membangun kembali
pesantren seperti dulu ketika dikelola oleh kakek dan mamang (paman). Namun
materi yang diajarkan tidak hanya berfokus pada pelajaran agama tapi juga sebagian
diberikan pelajaran dan keterampilan umum. Melalui pesantren ini saya ingin memajukan kampung halaman dengan menghasilkan
santri yang memiliki wawasan agama dan ilmu umum yang seimbang, tapi tetap agama sebagai pondasi utamanya.
Semoga kamu, aku, dan orang-orang yang sedang ikhtiar mencari jodoh segera dipertemukan dan bisa menikah di bulan Dzulhijjah tahun ini. Aamiin..
Komentar
Posting Komentar