WARISAN TERBAIK DARI BAPAK
Beberapa
waktu lalu saat membereskan buku-buku Bapak setelah pindahan dari Cibadak, aku
menemukan foto-foto wisuda S2 Bapak ketika di UGM tahun 2006. Dari foto-foto
itu aku jadi teringat cerita perjuangan hidup Bapak untuk mencapai mimpinya.
Bapak
berasal dari keluarga sederhana, lahir di Sukabumi, tanggal 28 Nopember 1964, merupakan
anak kedua dari 10 (sepuluh) bersaudara. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah
MI sekaligus seorang Kiyai yang memimpin Pondok Pesantren di daerahnya, dan
ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Sejak
kecil Bapak memiliki semangat hidup dan semangat belajar yang sangat tinggi.
Semasa sekolah Bapak sering berjualan rokok setiap ada acara pernikahan untuk mendapat
uang jajan tambahan. Ketika lulus SMP ayahnya meminta Bapak untuk tidak
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena faktor ekonomi, dan
meminta Bapak untuk membantu ayahnya mengelola sawah dan menggembala domba. Hal
itu membuat Bapak kecewa dan terpaksa harus menerima kenyataan untuk tidak
melanjutkan sekolah. Namun takdir berkata lain ketika Bapak mendapat informasi
tes beasiswa masuk Aliyah plus pesantren di Pondok Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya. Bapak mencoba mengikuti tes tersebut dan akhirnya Bapak lulus.
Dari situlah cerita hidup Bapak dimulai.
Suryalaya, Tasikmalaya 1980
Suryalaya
adalah sebuah nama pondok pesantren yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya,
Jawa Barat. Pesantren ini terkenal dengan nama “Inabah” yaitu sebuah program
yang dikhususkan untuk mengobati para pecandu narkoba dengan metode dzikir.
Selain pesantren, di tempat ini pun terdapat lembaga pendidikan formal dan non
formal. Pendidikan formal terdiri dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi, dan pendidikan non formal adalah inabah yang telah disampaikan
sebelumnya yaitu sebuah metode untuk mengobati para pecandu narkoba dengan
metode dzikir, juga melaksanakan pengajian tradisional.
Bapak
datang ke Suryalaya diantar oleh ayah dan ibunya hanya dengan berbekal tas
ransel dan sedikit bawaan di kardus, juga dibekali uang saku secukupnya. Disini
Bapak satu kamar dengan anak laki-laki yang berasal dari kota. Ketika melihat
barang bawaannya membuat Bapak merasa cukup minder, tapi hal itu tidak membuat
semangat belajarnya luntur. Beberapa minggu mengikuti kegiatan pesantren dan sekolah
Bapak sudah dapat beradaptasi dan mengenal banyak teman baru dari berbagai
daerah.
Berbulan-bulan
Bapak menjalani rutinitas belajar dan mengaji. Persediaan bekal Bapak mulai
menipis, namun Bapak sangat sungkan untuk meminta uang kepada orangtuanya
karena Bapak sadar bahwa orangtuanya pasti juga membutuhkan banyak biaya untuk kesembilan
sudaranya di kampung, jadi Bapak berusaha sendiri untuk tetap bertahan di
pesantren dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Untuk mencuci baju,
Bapak tidak dapat membeli sabun cuci karena bekalnya menipis, maka dari itu
biasanya Bapak menawarkan diri untuk mencuci baju gurunya, dengan begitu Bapak
bisa mendapatkan sabun cuci dengan ikut mencuci bajunya sendiri. Begitu pun
dengan makan, untuk mendapatkan makan biasanya sesekali Bapak menawarkan diri membantu
di dapur umum. Sejak saat itulah keadaan telah membuatnya berproses mejadi
dewasa secara perlahan untuk dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri, atas
hidupnya.
Setelah
beberapa bulan berikutnya, kurang percaya diri Bapak akan faktor ekonomi
akhirnya terbayar setelah bapak menang dalam perlombaan dakwah yang diadakan di
pesantren. Seiring dengan berjalannya waktu, Bapak mulai dikenal oleh banyak
orang dan dekat dengan para guru/ustad. Kemudian Bapak mendapat banyak tawaran
untuk mengisi acara. Hal itu terus berlangsung sampai Bapak lulus Aliyah.
Setelah lulus, ketika itu Bapak bertemu dengan seorang dermawan yang merupakan
seorang ikhwan murid guru besar Bapak di pesantren, beliau adalah seorang
rektor UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogyakarta. Berdasarkan rekomendasi
guru besar Bapak, Abah Anom, di pesantren, Bapak diminta untuk menjadi pengurus
inabah di Jogja dan disana Bapak dapat kuliah (di UII Jogja) secara gratis
karena dibantu oleh rektor UII tersebut.
Yogyakarta 1984
Disini
Bapak mulai beradaptasi dengan kehidupan baru. Selain mengurus inabah Bapak
memiliki kesibukan lain, yaitu kuliah jurusan tarbiyah dan merawat seorang
nenek renta yang merupakan ibu dari rektor UII Jogja yang membantu biaya kuliah
Bapak. Semua itu Bapak jalani dengan penuh semangat dan tak kenal lelah. Namun,
pada semester lima Bapak terpaksa harus berhenti kuliah karena rektor yang
membiayai kuliahnya harus pindah ke luar negeri, sementara ibu rektor tersebut
telah meninggal. Ketika itu ada rasa
kecewa karena tidak dapat melanjutkan kuliah. Tidak lama setelah itu kemudian
Bapak pulang ke kampung halamannya di Sukabumi.
Sukabumi 1988
Di
kampung halamannya ini tidak banyak kegiatan yang dilakukan oleh Bapak. Karena
tidak memiliki kesibukan akhirnya Bapak memberanikan diri melamar pujaan
hatinya yang ketika itu tengah pesantren di Sukabumi Kota. Tepat tanggal 25
Juli 1988 Bapak dan pujaan hatinya (yang kini adalah mamaku) menikah dan saat
itu bertepatan dengan musim kemarau panjang. Setelah menikah Bapak membawa mama
beberapa bulan tinggal di Jogja sambil mengurus inabah. Lalu Bapak kembali ke
Suryalaya untuk menemui guru besarnya dan beliau mengarahkan Bapak untuk
menjadi pembina mental di Panti Rehabilitasi Narkoba di Bogor.
Bogor 1989
Bogor
adalah kota anchor atau kota yang sangat berkesan bagi Bapak. Di kota ini
merupakan titik awal tatanan hidup Bapak mulai berproses. Disini Bapak tinggal di
rumah dinas bersama mama dan menjalankan tugasnya sebagai pembina mental/kerohanian.
Kehidupan awal di Bogor ini cukup berat bagi Bapak dan mama, karena disini
Bapak benar-benar mulai dari nol. Gaji pas-pasan bahkan untuk makan pun tidak
cukup sehingga terkadang Bapak menunggu sisa makanan dari dapur umum setelah
anak-anak panti semua mendapat jatah makannya, jika ada sisa Bapak dapat
mengambil makanan tersebut untuk dibawa pulang dimakan bersama mama. Namun jika
tidak ada sisa makanan di dapur umum maka Bapak biasanya membeli satu mie
instan untuk dimakan berdua. Meskipun begitu hidup tetap terasa indah bagi
keduanya, dan mama selalu bisa menyisihkan/menabung sedikit uang dari setiap
penghasilan Bapak yang diberikan kepadanya. Tidak lama kemudian mama hamil aku,
ketika akan memasuki masa persalinan untuk sementara mama tinggal di Sukabumi
dan Bapak di Bogor, pulang setiap satu bulan sekali.
Kali
ini Bapak harus bekerja lebih ekstra karena akan menghidupi dua orang, yaitu
anak dan isterinya. Bapak mencoba mencari penghasilan tambahan ditengah waktu
luangnya dengan mengajar agama, bahasa sunda, dan bahasa arab di tiga sekolah
Tsanawiyah atau setingkat SMP dan jaraknya cukup jauh.
Saat
usiaku 5 (lima) tahun Bapak membawa mama dan aku tinggal di Bogor. Saat itu
kegiatan Bapak sehari-hari masih sebagai pembina mental dan mengajar di tiga
sekolah. Pernah suatu ketika Bapak pergi mengajar memakai motor kantor seperti
biasanya (karena memang diperbolehkan/sudah mendapat izin) dan pulang sore.
Ketika Bapak baru sampai panti tiba-tiba ada seorang PNS yang marah-marah dengan
perkataannya yang menyakitkan karena Bapak memakai motor kantor hingga sore,
sementara dia membutuhkan motor tersebut untuk membawa anaknya berobat (saat
itu belum ada telepon selular jadi sulit untuk berkomuniksi jika ada perlu
mendadak). Ketika dimarahi Bapak hanya diam dan menerima kemarahan yang
ditujukan kepadanya sambil memperbaiki posisi motor untuk siap di pakai oleh
PNS tersebut. Lalu pernah ada kejadian dimana Bapak hendak di bacok golok hanya
karena salah paham hal sepele, dan murni bukan kesalahan Bapak, hingga akhirnya
orang yang hendak mencelakai Bapak merasa malu setelah mengetahui kebenarannya.
Itulah salah satu kejadian tidak mengenakkan yang pernah Bapa alami di masa
sulitnya.
Ketika
masuk sekolah pertama, saat itu usiaku 7 (tujuh) tahun, aku diminta untuk
tinggal bersama mamang (adik Bapak/anak nomor 3) dan bibi di rumahnya. Aku tinggal
bersama mereka selama satu tahun. Tujuan Bapak & mama menitipkan aku pada
mamang dan bibi agar aku belajar mengaji karena tempat mamang saat itu adalah pesantren
kakek yang dikelola olehnya setelah kakek meninggal. Alhamdulillah selama satu
tahun itu aku mengetahui dasar-dasar ilmu agama dan mulai lancar mengaji
Qur’an. Lalu tahun berikutnya aku kembali ke Bogor dan meneruskan sekolah
disana.
Pada
tahun 1990-an di panti rehab narkoba tempat Bapak bekerja dibuka lowongan kerja
CPNS, kesempatan itu segera Bapak coba dengan mengikuti tes tersebut, alhamdulillah
Bapak lulus. Kini statusnya berubah menjadi PNS. Sepuluh tahun kemudian Bapak
mencoba melanjutkan kuliah S1-nya di perguruan tinggi swasta yang kebetulan
jaraknya tidak jauh dari rumah. Kesibukan Bapak kali ini semakin bertambah, di hari
kerja dari pagi hingga sore bekerja sebagai PNS, setelah ashar mengikuti
perkuliahan di kampus, dan pada hari sabtu mengajar di tiga sekolah menengah
pertama. kemudian pada hari minggu Bapak berjualan bumbu dapur seperti bawang
putih, lada, dan kemiri, yang di bungkus plastik-plastik kecil dan di simpan di
beberapa toko kelontongan. Saat menganpas bumbu dapur ke toko-toko kelontongan
Bapak hanya mengendarai sepeda biasa karena pada saat itu belum memiliki
kendaraan bermotor pribadi.
Tahun
2003 Bapak telah menyelesaikan sekolah S1-nya. Kurang lebih satu tahun setelah
lulus kuliah, di kantor Bapak ada pengumuman tugas belajar ke Universitas Gajah
Mada di Yogyakarta, Jawa Tengah. Setiap ada kesempatan baik Bapak selalu
mencobanya, dan kali ini dewi fortuna berpihak kembali terhadap Bapak. Setelah
mengikuti seleksi masuk, Bapak dan teman sekantornya lulus dan diterima di
fakultas psikologi UGM, untuk peminatannya Bapak mengambil ilmu psikologi
perkembangan dan teman kantornya psikologi industri. Selama dua tahun Bapak
pulang pergi antara Bogor-Jogja setiap dua minggu sekali. Sementara untuk
komunikasi Bapak mengandalkan wartel (warung telepon) dan kami di Bogor ikut
menerima telepon Bapak dari kantor Bapak setiap minggu di sore hari. Hal
seperti itu terus berlanjut hingga dua tahun, ketika itu aku masih kelas VIII SMP
dan adik pertamaku kelas VI SD. Pada kesempatan ini uang Bapak yang selalu
disisihkan/ditabung oleh mama ditambah uang saku Bapak selama kuliah yang
selalu dihemat telah cukup untuk membeli sebuah sepeda motor. Suzuki Shogun berwarna
merah adalah motor pertama yang kami punya.
Tanggal
25 Januari 2006 Bapak lulus kuliah S2 Psikologi. Bertepatan di tahun yang sama,
pada bulan September adik keduaku lahir. Setelahnya kehidupan kami
perlahan-lahan mulai berubah. Prestasi Bapak di kantor semakin baik, pangkat
dan golongannya pun naik. Saat itu Bapak menjabat struktural sebagai Kepala
Seksi Advokasi. Bapak adalah seorang yang aktif dan humble. Ketika menjadi pejabat struktural pun Bapak masih aktif
mengajar di tiga sekolah, kemudian menjadi dosen Pendidikan Agama Islam di
kampus S1-nya terdahulu. bisnis rokok
bersama teman kampusnya ketika di UGM, dan menjadi distributor buku yang
bekerjasama dengan percetakan buku di Jakarta. Sesekali Bapak di undang oleh
BNN untuk menjadi narasumber diluar pekerjaan kantor dan menjadi penceramah di
sebuah pernikahan. Bapak selalu antusias, penuh semangat, dan pandai mengatur
waktu dalam mengelola semuanya. Menurut Bapak, mengajar adalah sebuah hobby,
ada kepuasan tersendiri saat mengajar dan bisa menjadi coping stress ketika
penat di pekerjaan atau menjalani kehidupan.
Berkat
semua kerja keras Bapak dan dukungan do’a dari mama akhirnya Bapak dapat
mengumpulkan uang untuk berangkat haji dan membeli mobil. Saat itu tabungan
haji untuk Bapak dan mama sudah cukup, selanjutnya tinggal menunggu panggilan
berhaji sesuai jadwal yang telah ditentukan. Mobil pertama yang Bapak beli
adalah mobil Jeep berwarna hijau. Mobil itu dibeli dari kenalananya. Bapak
belajar menyetir mobil pertama kali dibantu oleh siswa yang berada di panti. Jika
memiliki kemauan tekadnya selalu bulat sehingga dalam belajar mobil pun Bapak
cepat tanggap.
27
(dua puluh tujuh) tahun sudah kami sekeluarga tinggal di Bogor (meski selama 4
tahun aku lebih sering menetap di Ciputat karena kuliah dan 1 tahun di
Tangerang untuk bekerja, tapi setiap 2 minggu aku pulang ke Bogor) . Menurut
Bapak saat itu rasanya sudah cukup hidup merantau dan ingin segera berbenah
pulang ke kampung halaman. Tahun 2015 rumah yang di bangun di kampung sudah
selesai direnovasi, kendaraan sudah ada, dan mobil untuk membawa keluarga pun
sudah cukup layak, serta tabungan untuk naik haji sudah cukup. Oleh karena itu
Bapak mencoba mengajukan pindah kerja di daerah Sukabumi tapi masih di bawah
kementrian sosial hanya berbeda jenis panti yang dikelolanya. Selang beberapa
bulan di tahun yang sama pengajuan pindah kerja Bapak ke Sukabumi disetujui.
Selanjutnya untuk mama dan adik yang kecil menempati rumah di kampung sementara
Bapak tinggal di rumah dinas di Cibadak dan pulang ke kampung setiap hari
juma’at sore di setiap minggunya, karena jarak Cibadak ke kampung halaman
sekitar 4 (empat) jam. Sementara adikku yang pertama dia mendapat beasiswa
pendidikan dari perusahan di Tangerang dan setelah lulus diwajibkan untuk
bekerja pada perusahaan tersebut. Akhir tahun 2015 aku resign dari pekerjaan di
Tangerang dan awal tahun 2016 di bulan kedua ikut menyusul ke Sukabumi, mencoba
melamar kerja di rumah sakit dan diterima. Sejak saat itu aku tinggal di
Sukabumi bersama mama dan adik keduaku.
Tujuan
Bapak pindah kerja adalah untuk mendekati kampung halaman, ingin mulai menata dan
berbenah diri untuk hari tuanya bersama mama karena sekitar 8 (delapan tahun)
lagi Bapak pensiun. Harapan dan impian Bapak setelah pensiun nanti ingin
membangun kembali pesantren orangtuanya sekaligus sebagai tempat pendidikan
sekolah dan ingin mendirikan yayasan untuk merehabilitasi para pecandu narkoba.
Kemudian, harapannya secara khusus adalah ingin merawat mertuanya, karena
orangtua yang Bapak miliki saat itu hanyalah mertuanya. Orangtuanya telah lama
tiada, ibunya meninggal saat Bapak berusia 21 tahun dan ayahnya meniggal saat
Bapak berusia 38 tahun.
Sukabumi 2015
Di
Sukabumi, Bapak bekerja di panti rehabilitasi mental yang khusus untuk
menangani para klien psikotik. Pertengahan tahun 2018 Bapak mengajukan cuti
besar untuk melaksanakan ibadah haji bersama mama. Sepuluh hari setelah pulang
hajian, dimana masih banyak orang yang berkunjung kerumah untuk bertamu Bapak
mengalami sakit. Segera kami bawa ke rumah sakit tempatku bekerja. Saat itu
diketahui penyakit pertamanya dan harus segera di operasi. Kami kira setelah
itu selesai, namun takdir berkata lain, setelah selesai operasi diketahui ada
penyakit lain dalam diri Bapak. Beberapa minggu setelah pemulihan pasca
operasi, kami membawa Bapak untuk kontrol terkait penyakit Bapak yang lain yang
memerlukan data yang akurat untuk mengetahui penyakit yang sebenarnya.
Selanjutnya
Bapak di rujuk ke salah satu rumah sakit di Sukabumi Kota. Berdasarkan hasil
CT-Scan, hasil laboratorium, hasil patologi anatomi, dan hasil ronsen,
diketahui ada benjolan di bagian perut Bapak sebelah kiri yang sering
menyebabakan sakit. Diagnosa dokter membuat kami seketika lemas dan simalakama.
Dokter tersebut mengatakan benjolan itu harus segera diangkat karena sudah
stadium akhir, namun cukup beresiko. Menurutnya, ada dua kemungkinan yang akan
terjadi, pertama, pasca operasi kemungkinan Bapak akan koma, dan kemungkinan
kedua Bapak akan lepas. Hal itu membuat kami bingung untuk mengambil keputusan,
jika dibiarkan bukanlah keputusan yang tepat, namun untuk dilakukan operasi
kami pun tidak siap menerima kemungkinan resiko yang telah disampaikan oleh
dokter yang menangani Bapak.
Untuk
sementara Bapak meminta waktu dan ingin pulang ke rumah. Suasana di rumah menjadi
sangat kaku dan penuh haru. Untuk mengurangi beban mental ini kami mengadakan
pengajian dengan mengundang para kiyai dan warga untuk mengaji dan mendo’akan kesembuhan
Bapak. Tidak ketinggalan juga kami mencoba beberapa pengobatan alternatif,
namun hasilnya nihil. Hal itu membuat pikiran kami terkuras dan mempengaruhi
berat badan kami yang ikut mengalami penurunan. Berat badan Bapak sudah jelas
menurun karena sakit yang dideritanya, sedangkan berat badan kami menurun
karena memikirkan jalan keluar untuk kesembuhan penyakit Bapak.
Ditengah
kebingungan itu aku mencoba konsultasi kepada dokter spesialis penyakit dalam
di rumah sakit tempat aku bekerja, sebut saja namanya dokter Takwa. Beliau
sangat ramah dan bersedia memberi waktunya untuk mendengarkan kronologi
penyakit Bapak termasuk memberikan pencerahan terkait pilihan yang harus kami
ambil. Beliau menyarankan untuk operasi dengan beberapa penjelasan logisnya.
Berdasarkan penuturannya, kita tidak akan pernah mengetahui jika tidak mencoba,
daripada dibiarkan hal itu akan semakin menyiksa Bapak. Jika sudah parah
nantinya Bapak akan kesulitan bahkan tidak bisa untuk buang gas dan pup karena
usus sebagai saluran tersebut akan tertutup oleh benjolan yang semakin
membesar. Kemudian yang dikhawatirkan akar-akar benjolan tersebut akan menyebar
dan menganggu fungsi organ lain, lebih fatalnya dapat merusak organ-organ lain
yang menjadi penyebarannya. Menurutnya, jika ada usaha yang dilakukan mungkin
hasilnya akan fifty-fifty, kemungkinan baik (selamat) masih ada, kita mempunyai
Allah yang dapat memberi mukjizat dan keajaiban. Untuk urusan usia manusia
tidak ada yang mengetahuinya. Selanjutnya beliau menceritakan beberapa
pengalaman pasiennya yang mengalami sakit serupa bahkan lebih parah tapi masih tetap
bisa bertahan hidup.
Konsultasi
dengan dokter Takwa sangat membuka pikiran. Setiap pertanyaan yang aku ajukan
selalu mendapat feedback baik, logis, penuh motivasi, dan mampu mengingatkan
tentang kebesaran Allah.
Saat
dirumah aku coba menceritakan hasil konsultasi dengan dokter Takwa kepada kedua
orangutaku. Mereka mencoba mencerna dan mengerti apa yang aku sampaikan.
Di
ruang praktek dokter Takwa aku menemani Bapak berkonsultasi langsung dengan Minggu
berikutnya aku mendaftarkan Bapak untuk memeriksakan diri ke dokter Takwa di
rumah sakit beliau. Saat bertemu Bapak, dokter Takwa sangat welcome sama
seperti ketika beliau bertemu dengan pasien-pasiennya yang lain. Bapak mulai
berkonsultasi dan aku dapat melihat wajahnya yang sumringah saat dokter dapat
menanggapinya dengan baik, memberikan penjelasan yang logis, dan memberinya
motivasi. Konsultasi mereka cukup lama dan terlihat akrab seperti teman yang
sudah lama kenal. Sesekali ada guyon yang dilontarkan oleh Bapak dan ditanggapi
baik oleh dokter sehingga suasana menjadi akrab dan santai. Bapak memang
tipikal orang sosial yang suka berkomunikasi dengan orang lain, sementara
dokter Takwa adalah seorang dokter yang sangat baik dan beliau mampu mengerti
kondisi psikis pasiennya. Sesekali aku pun menimpali dan mengajukan pertanyaan
untuk lebih memahami kondisi Bapak agar dapat mengambil keputusan yang tepat. Hampir
lima belas menit, Bapak merasa cukup untuk berkonsultasi. Mereka bersalaman
lalu Bapak pamit. Sementara dokter Takwa menahanku sebentar dan mengatakan
sesuatu tentang Bapak.
“Bapakmu
itu harus sering diajak ngobrol dan dihibur biar ga kepikiran sama sakitnya.
Benjolan
itu memang harus diangkat, kasian Bapakmu kalau dibiarin. Komunikasikan aja
pelan-pelan. InsyaAllah Bapakmu kuat .”
“Baik,
dok. Terimakasih.” Jawabku, dan segera keluar ruang praktek dokter Takwa.
Di
rumah, pada malam hari Bapak membuka percakapan. Bapak menceritakan perjalanan
hidupnya hingga saat ini menerima ujian berupa sakit. Lalu Bapak berpesan jika
sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padanya meminta kami untuk selalu akur,
saling menjaga, dan saling menyayangi. Apa yang sudah ada agar dirawat, juga
menyampaikan beberapa amanat. Kami tidak sanggup menahan air mata, kami
menangis bersama dan saling meminta maaf.
Bandung 2019
Ditengah
persimpangan jalan, Allah memberikan petunjuknya. Aku tiba-tiba tersadar dan
rasanya ingin menghubungi salah satu sahabat Bapak ketika di Bogor dan saat
kuliah bersama di Jogja, yang istrinya dokter di salah satu rumah sakit besar
di Bandung. Bapak sudah lama lost kontak dengan sahabatnya tersebut karena
kesibukan masing-masing. Adapun nomor kontaknya yang ada di HP Bapak sudah
tidak aktif. Aku coba mencari tahu nomor sahabat Bapak tersebut kepada
teman-teman Bapak di kantor lamanya ketika di Bogor, karena aku juga cukup
mengenal baik teman-teman kantor Bapak ketika itu. Akhirnya aku mendapatkan
nomor sahabat Bapak. Setelah berkomunikasi via telepon responnya sangat baik,
beliau menganjurkan untuk segera datang dan meminta Bapak memeriksakan diri ke
rumah sakit disana. Dengan motivasi dan bantuan beliau, beberapa proses
pendaftaran dan pemeriksaan keseluruhan di rumah sakit untuk Bapak berobat
alhamdulillah berjalan lancar. Dokter itu beserta keluarganya sangat welcome
dan humble, kami sering sharing tentang banyak hal mulai dari kehidupan hingga
masalah pribadi. Selama bolak balik Sukabumi-Bandung kami diberi tumpangan
tinggal di salah satu rumah milik beliau. Disini kami merasa seperti memiliki
keluarga.
Setelah
beberapa minggu proses pemeriksaan lengkap, sampailah pada kesimpulan bahwa
memang benar ada benjolan di bagian perut sebelah kiri dan harus segera
diangkat. Kali ini kami mencoba berdamai dengan keadaan, mulai menerima takdir
dan tidak lagi denial seperti sebelumnya. Kami sudah berusaha mencari berbagai
cara untuk kesembuhan Bapak, dan pada akhirnya memang operasi mungkin adalah
keputusan terbaik yang bisa kami pilih. Ini adalah usaha terakhir yang dapat dilakukan,
kami mencoba untuk ikhlas menerima segala kemungkinan yang akan terjadi, dan
Bapak sudah berpesan tentang beberapa hal kepada kami.
Seminggu
kemudian jadwal operasi Bapak. Waktu itu, sebelum masuk ruang operasi dokter
memberikan kesempatan kepada kami untuk berdo’a. Usai berdo’a sekuat tenaga
kami menahan tangis dan saling menyemangati. Aku masih ingat, saat Bapak hendak
dibawa masuk ke ruang tindakan, Bapak terus berdzikir khofi, telunjuk kanannya
diketuk-ketukkan pada bagian perut yang akan dilakukan tindakan sementara
bibirnya terus berdzikir. Ketika itu wajah Bapak terlihat lebih tenang dan
ikhlas.
Kami
menunggu di ruang tunggu dan ditemani oleh adik bungsu Bapak. Lantunan do’a dan
dzikir terus dilafalkan oleh mama sepanjang Bapak operasi dan aku terus membaca
Surat Yaasiin. Sementara keluarga di rumah mengadakan pengajian dan do’a
bersama untuk kelancaran operasi Bapak. Pukul 17.00 dokter Reta mengirimkan
foto Bapak via whatsapp. Di foto itu Bapak terlihat seperti orang yang tertidur
lelap, wajahnya sangat tenang dan teduh. Dokter bilang operasinya berhasil,
selanjutnya menunggu Bapak siuman. Beberapa menit kemudian sahabat SMP ku
datang selepas dia pulang kerja yang kebetulan tinggal di Bandung. Hal ini
semakin menambah support kepada keluarga kami. Tiga jam kemudian Bapak sudah
siuman. Saat keluar dari ruang operasi kami menangis bahagia, kami sangat
bersyukur dan bahagia melihat Bapak sudah sadar.
Masa-masa
menegangkan itu terjadi di pertengahan bulan suci ramadhan. Aku mengambil cuti
12 (dua belas) hari. Jadi satu minggu sebelum dan sesudah operasi dapat menemani
mama dan uwa menjaga Bapak di rumah sakit.
Operasi
memang telah selesai, namun perjuangan Bapak masih berlanjut. Setelah operasi
Bapak tidak diperbolehkan untuk makan dan minum selama satu minggu. Karena luka
didalam perutnya masih basah dan pergerakan usus karena asupan makanan dapat
merusak jahitan operasi di ususnya. Sehingga selama itu asupan Bapak hanya
dibantu oleh cairan infus. Selain itu pada bagian hidung di pasang selang
hingga ke lambung agar produksi gas di lambung tidak mengganggu pergerakan usus
yang masih luka, dan bagian perut sebelah kiri pun di pasang selang untuk
mengeluarkan kotoran sisa operasi di dalam usus. Selain itu, saluran kencing
pun dipasang selang karena Bapak tidak diperbolehkan banyak bergerak.
Kondisi Bapak saat itu cukup mengkhawatirkan
namun kami berusaha untuk tetap kuat. Ditengah ujian ini aku melihat mama
semakin rajin dan khusyuk beribadah. Lantunan doa dan dzikir tidak pernah
berhenti dari bibirnya, lebih sering mengaji, dan selalu menjaga shalat
malamnya. Dan pemandangan yang paling aku suka adalah ketika melihat mama
sangat telaten merawat Bapak, mama selalu ada disamping Bapak.
Masa
cutiku telah habis dan harus kembali bekerja pada hari senin, jadi terpaksa aku
pulang bersama adik keduaku. Sementara adikku yang pertama telah pulang lebih
dahulu karena izin diperusahannya sangat ketat dan terbatas. Selanjutnya di
rumah sakit Bapak ditemani oleh mama dan uwa.
Dihari
berikutnya setelah satu minggu Bapak diperbolehkan diberi beberapa tetes air
putih. Kemudian beberapa hari berikutnya mulai diberi asupan susu sebanyak 5
(lima) mili tiga kali dalam sehari. Ketika kondisinya semakin membaik dosis
pemberian susu ditambahkan dan bisa minum air putih. Lalu dihari berikutnya
lagi mulai diberi asupan makanan lembek (bubur). Kondisi Bapak semakin membaik,
meskipun Badannya semakin kurus karena memang belum diperbolehkan banyak asupan
makanan. Kemudian 3 (tiga) hari menjelang lebaran Bapak diperbolehkan pulang.
Ini adalah kabar baik dan sangat menggembirakan. Bapak, mama, uwa, dan mamang
berpamitan kepada sahabat Bapak, pa Isep dan istrinya dokter Reta untuk pulang.
Kami sangat berterimakasih kepada mereka atas bantuannya selama di Bandung.
Akhirnya Bapak pulang ke rumah dan kami dapat merayakan Idul Fitri bersama.
Sukabumi 2019
Dirumah
Bapak dianjurkan untuk istirahat total sehingga cutinya diperpanjang. Kondisi
Bapak setiap harinya semakin membaik. Kini badannya sudah tidak terlalu kurus
seperti sebelumnya. Dua minggu kemudian jadwal Bapak kontrol ke rumah sakit.
Dokter bilang Bapak harus kemoterapi karena masih ada sisa-sisa akar
penyakitnya yang harus dibersihkan. Saat itu Bapak belum siap untuk kemo dan
meminta waktu untuk istirahat terlebih dahulu di rumah.
Saat
di rumah Bapak merasa lebih baik. Nafsu makannya mulai meningkat karena memang
diberi asupan vitamin berdasarkan resep dokter. Namun mungkin karena makannya
kurang terkontrol jadi terlalu banyak sehingga membuat perutnya kembung, susah
buang gas dan susah pup. Akhirnya kami larikan ke rumah sakit tempat aku kerja.
Di rumah sakit ini tidak sanggup, lalu kami meminta pulang paksa dan malam itu juga
membawa Bapak kembali ke rumah sakit di Bandung.
Bandung 2019
Di
Bandung Bapak kembali dirawat, dan dilakukan penyedotan kotoran melalui hidung.
Selama itu Bapak tidak diperbolehkan lagi untuk makan dan minum karena
dikhawatirkan kerja usus akan lebih berat. Ini ketiga kalinya Bapak tidak makan
dan minum, pertama sebelum operasi (hanya boleh minum susu selama satu minggu),
setelah operasi (selama dua minggu tidak makan dan minum), dan saat itu setelah
perutnya kembung selama kurang lebih tiga minggu tidak diperbolehkan makan dan
minum kembali, asupan hanya melalui cairan infus. Untung tidak ada masalah dengan
usus yang telah dioperasinya tapi produksi gas di lambung semakin meningkat.
Setelah hampir satu bulan kondisinya membaik, dan diperbolehkan pulang. Namun,
sebelum pulang dokter meminta Bapak untuk melakukan kemoterapi untuk dua minggu
mendatang. Kali ini Bapak menurut kata dokter.
Aku
dapat menangkap kebingungan Bapak untuk melakukan kemoterapi. Aku dan keluarga
juga sebenarnya bingung. Kami kembali dihadapkan pada pilihan lagi. Berdasarkan
informasi yang kami ketahui dan dari dokternya langsung bahwa kemoterapi memang
dapat memberikan efek kurang baik terhadap jaringan lain yang sehat. Namun jika
dibiarkan dan tidak dilakukan kemoterapi akar-akar penyakitnya itu akan semakin
menyebar ke organ lain, itu akan semakin berbahaya.
Sukabumi 2019
Di
tengah kebingungan itu aku mencoba berkonsultasi kembali dengan doker Takwa
terkait kemoterapi. Seperti biasanya dokter Takwa selalu bisa memberikan
penjelasan logis.
Sebelum
melakukan kemo, tiga hari sebelumnya Bapak harus cek lab ke rumah sakit untuk
mengetahui kondisi Hb-nya sebagai syarat untuk melakukan kemo minimal Hb harus
10. Setelah cek lab itu otomatis akan bertemu dokter Takwa. Ketika itu Bapak
berkonsultasi terkait kemo yang akan dijalaninya. Sebagai dokter beliau
memberikan pandangan terkait kemo kepada Bapak, dan seperti biasa memberikan
motivasi dan selalu ada guyon yang terselip kadang melibatkan aku untuk
memotivasi Bapak, dan aku hanya tertawa menanggapinya.
Penjelasan
dokter Takwa telah membuka pikiran Bapak dan kami sekeluarga terkait kemo. Kali
ini Bapak cukup semangat untuk menjalani kemoterapi. Karena hasil lab Bapak
Hb-nya bagus jadi Bapak tidak harus tranfusi darah, cukup istirahat di rumah.
Sukabumi – Bandung 2020
Setelah
dua minggu beristirahat di rumah Bapak kembali ke rumah sakit di Bandung untuk
kemoterapi. Saat kemo selalu didampingi oleh mama dan diantar mang Asep yang
membawa mobil Bapak. Kemoterapi dilakukan selama tiga hari setiap tiga minggu
sekali.
Kemo
pertama hingga ketiga terlihat kondisi Bapak segar. Tubuhnya lebih berisi
karena asupan makan sangat diperhatikan keseimbangan gizinya. Namun setelah
kemo keempat mulai menunjukkan beberapa gejala efek kemo. Badan mulai sering
terasa lesu, mencret, dan perut kembung.
Selanjutnya,
setelah kemo kelima kondisinya semakin lemah, keluhan yang dirasakan oleh Bapak semakin banyak dan nafsu makan
mulai berkurang. Lalu perutnya terlihat mulai membesar dan sering terasa nyeri
dan begah (perut terasa penuh terisi).
Setelah kemo kelima ini lebih sering bolak balik di rawat di rumah sakit
tempatku bekerja. Terkadang satu minggu dua kali masuk rumah sakit dan di rawat
sampai mendekati waktu kemo selanjutnya.
Saat
akan melakukan kemo keenam sebenarnya kondisi Bapak belum membaik, tapi Bapak
memaksakan diri untuk kemoterapi. Saat di rumah sakit dokter sempat menegur
kalau kondisi kurang fit sebaiknya tidak melakukan kemo, namun karena Bapak
sudah tiba di rumah sakit dan jarak antara rumah sakit ke rumah sangat jauh
sehingga dokter mengijinkan untuk kemo setelah di cek kondisi umum Bapak.
Setelah pulang kemo keenam kondisinya semakin tidak baik, rasa lemah dan linu
semakin terasa, perut kembung dan nyeri, juga lebih sering bolak balik ke kamar
mandi untuk buang air besar.
Sukabumi 2020
Dua
hari setelah kemo keenam kondisi Bapak
semakin lemah dan perutnya semakin membesar. Bapak hanya bisa berbaring di tempat
tidur, sedangkan untuk ke kamar mandi harus di papah.
Keesokan
harinya kami membawa Bapak ke rumah sakit. Saat di poli Bapak ditempatkan di
brankar karena kondisinya yang lemah. Ketika nomor antrian Bapak dipanggil
untuk berobat, dokter Takwa melihat Bapak di brankar, kemudian dokter Takwa
meminta perawat menyiapkan satu ruangan kosong untuk Bapak karena ruang
prakteknya cukup sempit untuk menampung dua brankar pasien (brankar untuk
pemeriksaan pasien dan brankar yang digunakan oleh Bapak). Setelah mendapatkan
ruangan dokter Takwa menghampiri dan menyapa Bapak dengan baik. Lalu Bapak
menceritakan semua yang dirasakannya. Dokter Takwa mencoba mendengarkan dengan
baik sambil terus memeriksa Bapak dengan stetoskopnya. Setelah Bapak selesai
menyampaikan keluhan sakitnya kemudian dokter Takwa menjelaskan penyebab sakit
secara medis yang dikeluhkan Bapak. Setelah selesai memeriksa Bapak dokter
Takwa meminta Bapak untuk dirawat agar kondisinya dapat terpantau. Sebelum Bapak
keluar ruangan dokter Takwa mengatakan sesuatu untuk memotivasi Bapak.
“Pak, kita hidup itu untuk apa sih sebenarnya?
Untuk mendapatkan ridha dan surganya Allah kan? Nah, Bapak sekarang sudah dapat
itu, insyaallah surga. Bapak sudah dapat surganya Allah dengan diberi ujian
ini.”
Mendengar
itu Bapak menangis dan dokter Takwa memeluk Bapak yang terbaring di brankar. Bapak
mengucapkan banyak terimakasih kepada dokter Takwa yang sangat baik terhadap
dirinya. Melihat pemandangan itu aku pun terbawa emosi dan ikut menangis.
Selanjutnya aku mengurus beberapa administrasi agar Bapak segera dipindahkan ke
ruang perawatan.
Sudah
tujuh hari Bapak dirawat. Ini merupakan rawat inap Bapak terlama di rumah sakit
tempatku bekerja, biasanya Bapak di rawat hanya dua sampai tiga hari saja
kondisinya sudah cukup baik dan diperbolehkan pulang. Namun saat ini kondisinya
tidak ada perubahaan tapi sebaliknya. Rasa nyeri di perut semakin sering terasa
padahal dosis obat yang paling tinggi sudah diberikan. Kemudian perut Bapak
semakin membesar seperti orang hamil delapan bulan. Berdasarkan penjelasan
dokter mengatakan bahwa perut yang semakin kembung kemungkinan dapat disebabkan
banyaknya gas karena produksi asam lambung yang tinggi, hal itu terjadi karena
fungsi lambung terganggu dari efek kemo. Kemungkinan kedua yang menyebabkan
perut Bapak semakin membesar karena adanya rembesan dari usus, sehingga cairan
yang melewati usus merembes, hal itu membuat Bapak kekurangan albumin.
Selama
tujuh hari di rumah sakit kondisinya belum juga membaik. Aku merasakan Bapak
semakin sensitif. Saat aku di ruang kerja tiba-tiba mama menelepon untuk aku
segera ke ruang perawatan Bapak. Sesampainya di ruang perawatan, Bapak meminta
aku untuk mengurus rujukan pengobatan ke rumah sakit lain karena selama dirawat
disini tidak ada perubahan. Sebelum memenuhi permintaan Bapak aku coba
menenangkan Bapak agar bersabar dan meminta persetujuan dokter. Karena saat itu
pengobatan Bapak sedang diberikan cairan untuk menambah albumin yang dibutuhkan
oleh tubuh Bapak, sementara albumi yang belum diberikan masih tersisa dua botol.
Saat
itu nada bicara Bapak ketus dan cukup tinggi meminta aku menghubungi dokter
Takwa. Aku coba memahami kondisi Bapak dan mulai menelepon dokter Takwa.
Alhamdulillah dokter Takwa sangat paham kondisi Bapak saat itu dan memenuhi
permintaan Bapak sambil mengajak Bapak mengobrol beberapa menit via telepon. Lalu
dokter Takwa meminta aku memberikan telepon kepada perawat. Via telepon beliau
mengatakan kepada perawat untuk membuatkan surat rujukan ke rumah sakit lain
meski pengobatan di rumah sakit ini belum tuntas. Ketika itu, setelah selesai
pengurusan rujukan, Bapak diperbolehkan pulang.
Sebelum
berangkat ke rumah sakit lain, Bapak meminta untuk pulang ke rumah, katanya
ingin istirahat dahulu di rumah, dan kami memenuhi permintaan Bapak tersebut.
Keesokan harinya kondisi Bapak semakin lemah, perut semakin membesar, tidak
nafsu makan, dan sering bolak balik ke kamar mandi. Namun karena kondisinya
lemah, sehingga untuk ke kamar mandi sering dipapah dan terkadang di gendong
oleh saudaranya ketika ada yang menjenguk Bapak.
Kondisi
Bapak terlihat mengkhawatirkan dan rasanya sangat tidak tenang hanya melihat
Bapak terbaring lemah tanpa usaha pengobatan. Akhirnya aku dan mama coba mengkomunikasikan
kepada Bapak agar mau dibawa ke rumah sakit, tapi Bapak tidak mau. Bapak bilang
sudah lelah dan tidak ingin kemana-mana lagi. Kami terus mencoba membujuk dan
meyakinkan Bapak tapi jawabannya tetap sama.
Dua
hari sebelum Bapak tidak sadar, Bapak meminta aku, mama, adik keduaku, dan uwa,
untuk berkumpul setelah shalat magrib. Sementara adik pertamaku tidak ikut
karena dia berada di Tangerang. Ketika itu Bapak bilang sudah lelah dan rasanya
sudah berbeda. Lalu Bapak berpesan untuk aku, mama, dan kedua adikku agar hidup
rukun dan saling menjaga, juga menitipkan kami kepada uwa. Bapak bilang, jika
memang waktunya nanti harus pulang terlebih dahulu, Bapak meminta uwa untuk
mejaga kami. Terutama aku dan adik keduaku yang masih menjadi tanggung jawab
berat bagi mama nantinya. Selain itu menyampaikan amanat lain. Semenjak Bapak
sakit dan kondisinya semakin lemah Bapak sering berpesan tentang hal tersebut,
dan itu selalu membuat kami tidak dapat menahan tangis.
Bapak
sering meminta maaf kepada mama jika takdir menjemputnya terlebih dahulu dan masih
meninggalkan beban berat, yaitu aku dan adik keduaku. Sambil terisak tangis
mama selalu meminta Bapak untuk tidak mengatakan hal tersebut dan mama selalu
meyakinkan bahwa Bapak pasti akan sembuh. Lalu mama pun mengatakan apa pun yang
terjadi mama akan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Mama juga selalu
meminta maaf kepada Bapak jika selama hidup bersama ada hal yang kurang baik.
Keduanya saling meminta maaf dan menangis. Selain itu, Bapak pun berpesan agar
aku tidak pergi-pergi lagi dan meminta untuk menetap disini. Saat itu aku
berjanji tidak akan kemana-mana lagi, akan tinggal disini untuk menjaga mama
dan ade. Kalau nanti aku sudah kembali percaya dan menemukan orang yang tepat
dan menikah, aku akan tinggal berdekatan dengan rumah mama. Itu janjiku pada
Bapak.
Dua
hari setelah percakapan itu, aku merasakan ada keanehan dari Bapak. Perilakunya
menjadi seperti anak kecil, bicara agak meracau, tidak sadar terhadap
lingkungan, dan yang paling menyedihkan Bapak sudah tidak mengenali kami. Kalimat
yang keluar hanya ucapan astagfirullah dan Allahuakbar sambil memegang perutnya
yang membesar. Aku dan mama coba mengecek responnya sambil terus berkomunikasi
kepada Bapak, tapi Bapak tetap tidak mengenali kami. Matanya terus melihat
keatas dan tangannya sering di tengadahkan keatas meminta untuk segera dibawa.
Dihari
berikutnya selama dua hari Bapak tidak sadarkan diri, badannya kaku, tapi
sesekali airmatanya keluar. Kami sekeluarga besar terus menemani Bapak dengan
berdo’a dan mengaji Yaasiin. Juga beberapa kerabat dan tetangga silih berganti menjenguk untuk
mendo’akan Bapak.
Satu
hari sebelum kepulangan Bapak, orang-orang yang menjenguk Bapak semakin banyak.
Adik pertamaku yang dari Tangerang pun sudah ada di rumah bersama keluarganya.
Sepanjang malam itu kami tidak berhenti berdzikir dan sesekali membaca Qur’an.
Hampir menjelang subuh aku ketiduran, sementara mamangku (saudara Bapak yang
kelima) tidak henti berdzikir di dekat Bapak selama satu hari satu malam,
kecuali di jeda shalat dan makan.
Pada
malam mendekati detik-detik kepulangan Bapak sekitar pukul 19.25 WIB, tiba-tiba
perutku terasa sakit, aku baru ingat bahwa seharian aku tidak makan, maka aku
coba ke dapur mengambil nasi untuk sekedar mengganjal perut. Sementara mama
tidak sengaja ketiduran setelah sehari semalam kurang tidur. Tiba-tiba kaka
sepupuku menghampiri aku ke dapur dengan tergesa dan memeluk aku erat lalu
memapah aku ke ruang tengah dan melihat Bapak sudah pulang. Seketika aku lemas
dan menangis, begitupun dengan mama terlihat sangat rapuh.
Saat
itu semua orang berkumpul dan membantu mengurus jenazah Bapak. Aku dan keluarga
ikut memandikan. Setelah dikafani lalu dishalatkan. Disaat kesedihan itu, aku
dan mama pun merasa terharu karena banyak sekali orang yang datang melayad,
memberikan do’a, supportnya kepada kami. Bahkan Bapak dishalatkan beberapa kali
di garasi rumah yang cukup luas untuk menampung banyak jama’ah. Sampai pukul 01.00
masih banyak orang berdatangan yang menshalatkan dan mengaji untuk Bapak. Keesokan
harinya sekitar pukul 07.00 Bapak dimakamkan dipemakaman keluarga dekat rumah,
dan kami harus ikhlas untuk melepas kepulangan Bapak.
Selama
tujuh hari tujuh malam selalu diadakan tahlil di rumah oleh ibu-ibu dan di
pemakaman yang dihadiri oleh bapak-bapak. Alhamdulillah selalu banyak orang
yang datang untuk mendoakan Bapak. Tujuh hari pertama kondisi mama masih sangat
rapuh meski banyak saudara yang selalu menemani siang dan malam. Selanjutnya
tahlil selalu diadakan setiap hari kamis sore selama satu bulan.
Setelah
satu bulan kondisi mama mulai membaik, mama mencoba menerima kenyataan akan
kepulangan Bapak. Saat ini mama lebih sering bercerita tentang Bapak, aku
selalu berusaha menjadi pendengar yang baik untuk mama. Kemudian menjelang
empat puluh hari kepulangan Bapak, adik keduaku jatuh sakit dan harus dirawat
selama empat hari dan saat itu bertepatan dengan bulan ramadhan. Hal itu
membuat mama kembali merasa sedih. Sementara aku hanya bisa mendengarkan
kesedihan mama dan mencoba saling menguatkan. Disini aku berpikir, sebagai anak
pertama aku harus kuat dan harus bisa diandalkan dalam banyak hal.
Kini
sudah tiga bulan kepulangan Bapak. Sesuai dengan tradisi kami mengadakan
“natus” yaitu seratus harinya kepulangan Bapak. Kami mengadakan pengajian
kembali untuk mendoakan Bapak. Setelah natus ini berarti proses pemulasaraan
Bapak telah selesai. Selanjutnya jika ada rezeki akan selalu diadakan “haul” untuk
Bapak setiap satu tahun sekali.
Meski
proses pemulasaraan telah selesai, setiap hari (jika tidak ada halangan) mama
selalu mengunjungi makam Bapak untuk mengaji dan mendoakan Bapak. Jika tidak
pulang terlalu sore aku pun selalu ikut berziarah bersama mama dan ade. Sampai
saat ini jika ada hal atau sesuatu yang mengingatkan tentang Bapak mama selalu
bercerita dengan antusias setiap pengalaman dan perilaku Bapak. Kadang nada
bicaranya bersemangat saat menceritakan pengalaman seru dan menyenangkan lalu
tiba-tiba raut wajahnya sedih karena kenyataan memaksanya untuk menerima bahwa
Bapak sudah pulang.
*****
Me-recall
kembali sesuatu yang menyedihkan sangat tidak mudah. Tapi mungkin inilah cara
belajar untuk menjadi kuat, berani mengakui dan melepaskan alam bawah sadar
dari tumpukan emosi.
Tujuan
menulis cerita ini adalah untuk menjadi pengingat sekaligus pembelajaran
pribadi sebagai warisan terbaik dari Bapak sepanjang masa hidupnya, juga untuk
cerita kepada anak cucu bahwa mereka memiliki kakek yang hebat.
Bapak
adalah seorang hero dalam keluarga. Bapak sangat bertanggung jawab dan
benar-benar memulai semua dari nol, from
zero to hero. Meski pada akhirnya, sebelum menikmati hasil perjuangan
hidupnya Bapak telah berpulang terlebih dahulu. Ujian sakit yang telah
dialaminya diterima dan dijalaninya dengan penuh kelapangan. Semoga Bapak
husnul khatimah. Aamiin.
Kali
ini aku hanya ingin menerima dan menerapkan warisan terbaik dari Bapak,
terutama dalam hal kejujuran, adab, dan tanggung jawab. Selain itu terdapat
beberapa warisan lain dari Bapak yang dapat digunakan untuk menjalani hidup
yang lebih baik, diantaranya:
1. Selalu
memiliki tekad yang kuat
2. Pekerja
keras
3. Penuh
semangat
4. Sangat
bertanggung jawab
5. Selalu
mampu mencairkan suasana
6. Sangat
berbakti kepada orangtua
7. Sangat
hormat dan khidmad kepada guru
8. Cerdas
memanfaatkan peluang
9. Mudah
bersosialisasi
10. Innovator
11. Humanis
12. Fighting
13. Humble
14. Aktif
Terimakasih
Pak, telah menjadi figur terbaik untuk keluarga, terutama untuk anak perempuanmu
yang keras kepala ini. Maaf, selama hidup aku belum bisa membahagiakan Bapak,
dan sampai saat ini masih menitipkan beban pada mama. Sekarang aku tahu aku
butuh figur seperti Bapak. Cukup, tidak lagi mengeraskan hati, aku akan belajar
untuk terus memperbaiki diri. Bapak tenang ya disana, biar mama sama ade aku
yang jaga.
*****
Tiga
bulan berlalu setelah pemulasaraan Bapak, aku coba berkomunikasi dengan salah
satu anak dokter Reta setelah mengomentari status whatsapp-nya. Akhir dari
percakapan itu, tiba-tiba Ranum menuliskan sesuatu yang mengingatkan ayahnya,
yang juga sahabat Bapak, yang telah pulang beberapa bulan lebih dulu karena
sakit komplikasi.
Ranum : “Kalau
inget sama tteh, jadi inget sama ayah.“
“Semoga silaturahim kita bisa terusberjalan ya teh.“
#lagi melankolis. Huhu..
Aku :
“Sama, klo ingt km ak inget bandung jd inget bapa waktu dirawt dsn“
#melow juga. Huhu..
“Iya, kita ttp jaga silaturahmi ya Num”
Ranum : “Iya teteh J”
Ya Allah teteh Nia.. Aq sampai nangis bacanya.. Karena selama mengenal beliau.. Beliau banyak mengajarkan hal2 yg positif tentang ilmu dan perilaku.. dan selalu memberi semangat dalam hal pekerjaan.. Aq saksinya klo bapak orang yang sangat humble dan penuh semangat.. Semoga bapak dilapangkan jalan kuburnya dan di tempatkan di sisi Allah SWT.. Surga jaminan untuk orang baik seperti bapak.. Salam baktos kanggo mamah dan adek2 yaa.. Peluk.. Peluk..
BalasHapusak terharu huhu
BalasHapusterimaksih sister uda mau baca tulisan panjang ini,,
terimakasih untuk doanya, semoga berkah kebaikan doa tersebut kembali pada yang mendoakan dan semoga selalu diberi kesehatan untuk kita semua. Aamiin
Ya Allah ... Sampe finish aku baca nya teh, penulis yang hebat.kebayang pas bikin nya penuh dengan perasaan dan emosional.terus gak gampang buat nulis kaya gini. Gak semua orang bisa. Mudah-mudahan bapak teteh ditempatkan di surganya Allah, dan semoga keluarga yang ditinggalkan juga selalu di beri kesehatan, kesabaran, ketabahan, ke ikhlasan. Aamiin
BalasHapus